Kera Sakti: Tersasar Sembari Terpingkal
Biksu Xuanzang ingin dimangsa siluman/Witjak Widhi Cahya-Salihara
Kisah mengenai Kera Sakti, atau Sun Wukong dalam bahasa Mandarin, merupakan salah satu mitologi Cina klasik yang paling populer. Penelusuran jejak literaturnya dapat ditemukan dalam kisah Perjalanan Ke Barat (Journey to the West) di era Dinasti Ming pada abad ke-16. Kini, setelah lima abad berselang, kelompok teater asal Jepang Ryuzanji Company kembali membawakannya dalam pentas teater berjudul Kera Sakti di Teater Salihara, Pasar Minggu, pada 11-12 Maret 2016.
Kita berkali kali diingatkan, baik secara langsung maupun tidak, untuk tidak membawa ekspektasi dalam bentuk apa pun ketika hendak menyaksikan sebuah pertunjukan seni. Tentu saja diam-diam kita tahu bahwa hal tersebut mustahil. Kali ini misalnya, saat hendak menyaksikan pertunjukan Kera Sakti, setidaknya saya menaruh harap untuk menyaksikan kembali kisah Kera Sakti yang sempat tenar di layar televisi Indonesia pada era 1990an. Sun Go Kong, Cho Pat Kai, figur-figur heroik yang senantiasa menghiasi masa kecil saya akan kembali saya temui. Saya tidak begitu penasaran soal alur cerita, mengingat kisah ini memang sudah populer dan berkali-kali diadaptasi dalam berbagai format. Rasa penasaran saya mentok di gaya penceritaan yang akan dilakukan Ryuzanji Company.
Namun, rasa penasaran saya berlipat ganda seiring pementasan berlangsung. Padatnya komposisi adegan, ditambah penyajian artistik yang intens, membuat saya merasa berdosa besar apabila memutuskan untuk berkedip barang sejenak. Pementasan ini sesungguhnya cukup minimalis, tapi kepiawaian skenografer dan sutradara dalam mengemasnya membuat lakon Kera Sakti menjadi begitu mewah.
Rasetsu memamerkan kipas Basho Sen/Witjak WIdhi Cahya-Salihara
Sedikitnya ada beberapa faktor yang membuat pementasan ini layak disebut demikian: penempatan video mapping, kecakapan gestur para pelakon, serta dinamika adegan. Ketiga hal ini tentu bukan barang baru, bukan pula sebuah terobosan. Tidak sedikit pementasan yang menggunakan video mapping. Namun, berapa banyak yang mampu menerapkan teknik tersebut dengan rapi dan tepat guna?
Kera Sakti ala Ryuzanji Company menerapkan video mapping yang sederhana, tidak memukau secara berlebihan. Namun, penggunaannya tidak sekadar untuk menghiasi latar dan mempercantik set. Alih-alih, mereka menggunakannya sebagai metode naratif tersendiri. Dengan demikian, tidak hanya para pelakon yang bercerita lewat dialog, panggung pun ikut bercerita secara visual.
Kemudian, soal kecakapan gestur para pelakon yang dipadu dengan dinamika adegan. Kera Sakti ala Ryuzanji Company tidak menghadirkan kisah legendaris ini secara konvensional. Dinamika pementasan ini sudah mengentak sedari lampu padam. Adegan perang pun seketika berlangsung di panggung yang masih kosong pada detik sebelumnya, entah dari mana para pelakon itu berdatangan. Saya yakin tidak sedikit jumlah penonton yang masih sibuk mematikan telepon genggam ketika adegan pembuka ini muncul. Belum tuntas dengan kejutan ini, tidak lama penonton sudah terpingkal-pingkal menyaksikan tingkah para pelakon.
Gestur komikal para pelakon/Witjak Widhi Cahya-Salihara
Di sisi lain, penonton boleh menganggap bahwa pementasan ini hanya sekadar mengambil latar kisah klasik Kera Sakti sebagai kerangka naratif. Namun pementasan ini lebih terasa seperti upaya mendekonstruksi lapis demi lapis sebuah mitologi klasik yang kemudian diartikulasikan kembali ke dalam struktur kontemporer. Ryuzanji Company tidak menghadirkan kisah Kera Sakti yang utuh, melainkan terpotong-potong, yang masing-masing potongannya dapat berdiri sebagai satu wacana tersendiri.
Hal menarik lainnya, pementasan ini dimainkan dalam bahasa Jepang dengan tambahan teks bahasa Indonesia di sisi atas latar panggung. Batas pemahaman antarbahasa ini tentu saja menjadi tantangan khusus. Penonton harus membagi fokus perhatian antara permainan dan teks agar dapat sepenuhnya mengerti konteks cerita. Namun lagi-lagi, kepiawaian para pelakon Kera Sakti memainkan gestur dan ekspresi mereka amat membantu penonton dalam memahami konteks. Ditambah dengan selentingan-selentingan bahasa lokal seperti "Aku bukan tuyul! Aku manusia!" atau "Anjing!" yang diucapkan dengan aksen Jepang.
Tambahan teks bahasa Indonesia di latar/Witjak Widhi Cahya-Salihara
Satu hal yang disayangkan (bahkan cukup mengganggu) ialah kehadiran Komunitas Marjinal di tengah-tengah cerita. Mereka muncul membawakan lagu “Rencong Marencong” bersamaan dengan sosok penari tampil sembari berpakaian adat Jawa. Entah apa kepentingan mereka dalam pementasan ini selain mengacaukan tempo pementasan tanpa terlibat dalam konstelasi cerita. Saya hanya bisa menduga kalau ini adalah siasat aman untuk rehat sejenak, tanpa perlu membuat penonton beranjak ke luar ruangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar